Oleh: Wira Mandiri Bachrun
Sebelum diutus menjadi rasul, Allah subhanahu wata'ala telah memberikan penjagaan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari keburukan-keburukan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Kehidupan beliau pra-kenabian adalah hidup yang penuh kemuliaan dan keutamaan.
Meskipun masa muda beliau dihabiskan di tengah-tengah masyarakat jahiliyah akan tetapi Allah telah memuliakan beliau dengan selalu terjaga dari keburukan tersebut. Di tengah-tengah masyarakatnya, beliau adalah orang yang paling baik akhlaqnya, orang yang menjaga kehormatannya, paling cerdas, paling lemah-lembut, dan paling jauh dari karakter-karakter yang buruk. Bahkan beliau dikenal dengan kejujuran dan amanahnya sehingga dijuluki sebagai al amin, orang yang amanah. Keburukan dan kerendahan di masa jahiliyah sama sekali tidak mempengaruhi diri beliau. [1]
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah menghimpun berbagai kebaikan yang menjadi standar masyarakat di masa itu. Beliau adalah tipe ideal dari sisi kejernihan berpikir dan ketajaman pandangan. Beliau memiliki kecerdasan yang lebih, ide-ide orisinil yang demikian jitu.[2] Hal ini bisa kita lihat dari ide beliau ketika memindahkan Hajar Aswad. Ide yang bisa menghindarkan para kabilah di kota Makkah dari pertumpahan darah. [3]
Dengan akalnya yang demikian cerdas dan fithrahnya yang suci beliau menganalisa lembaran kehidupan manusia, memperhatikan urusan dan kondisi-kondisi mereka. Oleh karena inilah beliau tidak ikut-ikutan kepada segala bentuk khurafat dan berusaha menjauhi diri beliau dari hal itu. Beliau berinteraksi dengan manusia dengan bashirah (penuh pertimbangan) baik terhadap urusan beliau pribadi maupun urusan masyarakat. Apabila hal tersebut baik, maka beliau akan ikut berpartisipasi di dalamnya. Contohnya, dahulu kaum musyrikin berpuasa pada hari Asyuro, maka beliau pun ikut berpuasa sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari. Apabila hal tersebut tidak baik, maka beliau akan kembali mengasingkan diri. [4]
Beliau tidak pernah minum khamr, tidak pernah makan daging yang dipersembahkan kepada berhala, tidak pernah menghadiri perayaan untuk berhala ataupun pesta-pestanya bahkan dari sejak pertumbuhannya sudah menghindari dari sesembahan yang batil. Lebih dari itu, beliau malah sangat membencinya dan bahkan terkadang tidak dapat menahan emosi bila mendengar sumpah dengan nama Al Laata dan Al 'Uzza, dua berhala bangsa Arab.[5]
Tidak diragukan lagi bahwa berkat ketentuan Allah-lah beliau dapat terjaga dari hal tersebut. Ketika dorongan jiwa telah memuncak untuk mereguk kenikmatan duniawi dan rela mengikuti sebagian tradisi yang tak terpuji, ketika itulah pertolongan Allah menghalanginya dari hal-hal tersebut.
Di dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnul Atsir bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
ما هممت بشيء مما كان أهل الجاهلية يعملون غير مرتين، كل ذلك يحول الله بيني وبينه، ثم ما هممت به حتى أكرمني برسالته
"Tidak pernah aku berkeinginan untuk melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Ahli Jahiliyyah kecuali hanya dua kali saja. Namun itu semua dihalangi oleh Allah. Kemudian aku pun tidak pernah lagi memiliki angan-angan untuk kembali melakukannya hingga Allah muliakan aku dengan risalah-Nya."
Kemudian beliau menceritakan dua keadaan yang pernah terlintas di benak beliau untuk melakukannya,
قلت ليلة للغلام الذي يرعى معي الغنم بأعلى مكة: لو أبصرت لي غنمي حتى أدخل مكة وأسمر بها كما يسمر الشباب! فقال: أفعل، فخرجت حتى إذا كنت عند أول دار بمكة سمعت عزفا، فقلت: ما هذا؟ فقالوا: عرس فلان بفلانة، فجلست أسمع. فضرب الله على أذني فنمت، فما أيقظني إلا حر الشمس. فعدت إلى صاحبي فسألني، فأخبرته
"Suatu malam aku pernah berkata kepada seorang anak yang menggembala kambing bersamaku di dataran tinggi Makkah, 'Andai saja engkau mau mengawasi kambingku sementara aku akan memasuki kota Makkah dan bergadang ria seperti yang dilakukan oleh para pemuda...'
Maka anak itu menjawab, "Baiklah.. (aku akan awasi kambingmu)."
Kemudian aku pun kembali ke Makkah, sampai ke rumah pertama yang aku temui aku mendengar suara tabuhan rebana.
Aku pun lalu bertanya, "Ada acara apa ini?"
Mereka menjawab, "Pesta pernikahan si fulan dengan si fulanah!"
Kemudian aku duduk-duduk untuk ikut mendengarkan tetabuhan musik itu. Namun Allah telah menutupi telingaku dengan membuatku tertidur. Aku tertidur sampai terasa teriknya panas matahari. Maka aku kembali menemui teman si penggembala. Dia bertanya kepadaku tentang apa yang aku alami dan akupun menceritakan apa yang terjadi pada diriku semalam."
Adapun kisah kedua...
ثم قلت ليلة أخرى مثل ذلك، ودخلت بمكة فأصابني مثل أول ليلة ... ثم ما هممت بسوء
"Kemudian setelah itu, aku pun ingin melakukan hal yang sama pada malam. Aku pun memasuki kota Makkah dan kembali terulang apa yang pernah aku alami di malam sebelumnya. Akhirnya aku tidak pernah lagi punya keinginan yang buruk."[6]
PENJAGAAN TERHADAP AURAT RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM
Penjagaan terhadap diri beliau tidak hanya dari sisi moral. Tapi bahkan dari sisi kehormatan diri beliau juga dijaga oleh Allah. Sebagaimana kisah pembangunan Ka'bah yang telah berlalu. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, beliau bertutur,
لَمَّا بُنِيَتْ الْكَعْبَةُ ذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبَّاسٌ يَنْقُلَانِ الْحِجَارَةَ فَقَالَ عَبَّاسٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْعَلْ إِزَارَكَ عَلَى رَقَبَتِكَ يَقِيكَ مِنْ الْحِجَارَةِ فَخَرَّ إِلَى الْأَرْضِ وَطَمَحَتْ عَيْنَاهُ إِلَى السَّمَاءِ ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ إِزَارِي إِزَارِي فَشَدَّ عَلَيْهِ إِزَارَهُ
Ketika Ka'bah dibangun ulang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abbas ikut serta memindahkan batu. Maka Abbas mengatakan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Letakkanlah sarungmu di atas pundakmu, agar batu tidak menggores tubuhmu." Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin melakukannya, tiba-tiba Beliau tersungkur jatuh, mata Beliau pun kemudian memandang ke langit. Saat tersadar, beliau berkata, "Ini karena sarungku, ini karena sarungku!" Maka beliau pun mengencangkan sarungnya. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat yang lain, "Maka setelah itu, aurat beliau tidak pernah lagi kelihatan."[7]
Di tengah-tengah kaumnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wasalam memiliki keistimewaan dari sisi akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Beliau merupakan orang yang paling utama dari sisi muru'ah (penjagaan kehormatan diri), paling baik akhlaknya, paling baik dalam bertetangga, paling lemah lembut, paling jujur bicaranya, paling lembut wataknya, paling suci jiwanya, paling dermawan dalam kebajikan, paling baik dalam beramal, paling menepati janji serta paling amanah sehingga beliau dijuluki oleh mereka dengan Al Amiin. Ini semua karena berkumpulnya kepribadian beliau yang shalih dan pekerti yang disenangi. Maka pantaslah dikatakan terhadap beliau sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mu'minin, Khadijah radhiallahu 'anha,
كلا، والله ما يخزيك الله أبدا، إنك لتصل الرحم، وتحمل الكل، وتكسب المعدوم وتقري الضيف، وتعين على نوائب الحق،
"Sekali-kali tidak... Allah sama sekali tidak akan menghinakan dirimu. Engkau selalu menyambung tali silaturrahim, membantu meringankan beban orang yang kurang mampu, memberi nafkah terhadap si yang tidak memiliki apa-apa, menjamu tetamu dan selalu menolong dalam upaya penegakan segala bentuk kebenaran.."[8]
Demikian gambaran dari ketinggian moral Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang ini semua tentunya merupakan penjagaan dari Allah subhanahu wata'ala dan juga persiapan diri beliau sebelum memegang tanggung jawab kerasulan.
Wallahu a'lam.
Catatan Kaki:
[1] Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiri, As Sirah An Nabawiyah baina Al Ma'rifah wal Wajib fi Dhau'I Al Quran wa As Sunnah, (Qasim: Dar Ashda'il Mujtama', 2017), hlm. 55.
[2] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 79.
[3]Lihat artikel berjudul "Rasulullah Ikut Membangun Ka'bah" yang kami tulis sebelum ini.
[4] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 79.
[5] Ibid.
[6] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 79-80. Beliau mengatakan, "Para ulama telah berselisih pendapat tentang keshahihan kisah ini. Al Hakim dan Adz Dzahabi menshahihkannya, sedangkan Ibnu Katsir melemahkannya dalam Al Bidayah wan Nihayah.
[7] Ibid., hlm. 80.
[8] Ibid.
Ket foto: Masjid Dzul Hulaifah