Monday, February 17, 2020
HUKUM SHOLAT DENGAN MENGGENDONG BALITA YANG PAMPERSNYA ADA NAJISNYA
Monday, February 17, 2020
0
Sebagaimana kita ketahui dalam riwayat yang masyhur Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah sholat dengan menggendong balita :
عن ﺃﺑﻲ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ : ﺑَﻴْﻨَﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺟُﻠُﻮﺱٌ ﺧَﺮَﺝَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺤْﻤِﻞُ ﺃُﻣَﺎﻣَﺔَ ﺑِﻨْﺖَ ﺃَﺑِﻲ ﺍﻟْﻌَﺎﺹِ ﺑْﻦِ ﺍﻟﺮَّﺑِﻴﻊِ ﻭَﺃُﻣُّﻬَﺎ ﺯَﻳْﻨَﺐُ ﺑِﻨْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻫِﻲَ ﺻَﺒِﻴَّﺔٌ ﻳَﺤْﻤِﻠُﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﺎﺗِﻘِﻪِ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻫِﻲَ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﺎﺗِﻘِﻪِ ﻳَﻀَﻌُﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺭَﻛَﻊَ ﻭَﻳُﻌِﻴﺪُﻫَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﺣَﺘَّﻰ ﻗَﻀَﻰ ﺻَﻠَﺎﺗَﻪُ ﻳَﻔْﻌَﻞُ ﺫَﻟِﻚَ ﺑِﻬَﺎ [ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ 783 ﻭ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ 704 ﻭ ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ ]
Abu Qotadah radhiallahu ‘anhu mengatakan: Ketika kami sedang duduk-duduk di masjid, Rosulullah – shallallahu alaihi wasallam– muncul ke arah kami sambil menggendong Umamah binti Abil Ash, -ibunya adalah Zainab binti Rosulullah shallallahu alaihi wasallam-, ketika itu Umamah masih kecil (belum disapih)- , Beliau menggendongnya di atas pundaknya, kemudian Rosulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengerjakan sholat, sedang Umamah masih di atas pundak Beliau, apabila ruku’ Beliau meletakkan Umamah, dan apabila berdiri Beliau menggendongnya kembali, Beliau melakukan yang demikian itu hingga selesai sholatnya." (HR. Abu Dawud dan Nasaa`i, dishahihkan oleh al-Albani).
Kemudian kita ketahui bersama bahwa dengan kemajuan teknologi, maka sekarang sudah dibuat pampers yang berfungsi menahan kencing atau "BAB" sang balita agar tidak menetes dan keluar kemana-mana. Yang akan kita bahas adalah bagaimana misalnya sang ibu ketika sholat demi melihat sang buah hatinya menangis, maka ia pun terpaksa menggendong anaknya untuk menenangkannya, namun permasalahannya ternyata sang balita kencing atau bab didalam pampersnya dan sang ibu yakin bahwa kencing atau bab tersebut tidak akan menetes ke bajunya, karena mampu ditahan oleh pampers, bagaimana hukum sholatnya?
Sebagaimana keterangan diatas bahwa pampers ditemukan pada waktu-waktu sekarang, maka tentunya fatwa-fatwa yang ada berasal dari ulama kontemporer.
Akan tetapi sejatinya masalah ini telah dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, ada sebuah kasus yang mungkin dapat dijadikan referensi untuk menjadikan acuan dalam menghukumi kasus yang akan kami angkat, yaitu tentang seseorang yang sholat dengan membawa semacam botol kecil namun isinya adalah najis, seperti air kencing dan semisalnya, bagaimana hukumnya?
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dari kalangan mazhab Hanbali mengatakan :
ﻭﺇﺫﺍ ﺣﻤﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺣﻴﻮﺍﻧﺎ ﻃﺎﻫﺮﺍ ﺃﻭ ﺻﺒﻴﺎ ، ﻟﻢ ﺗﺒﻄﻞ ﺻﻼﺗﻪ ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺻﻠﻰ ﻭﻫﻮ ﺣﺎﻣﻞ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﺍﺑﻨﺔ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻌﺎﺹ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ .
ﻭﺭَﻛِﺐ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﻭﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻇﻬﺮﻩ ﻭﻫﻮ ﺳﺎﺟﺪ ، ﻭﻷﻥ ﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻴﻮﺍﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻓﻲ ﻣﻌﺪﺗﻪ ، ﻓﻬﻲ ﻛﺎﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻓﻲ ﻣﻌﺪﺓ ﺍﻟﻤﺼﻠﻲ ، ﻭﻟﻮ ﺣﻤﻞ ﻗﺎﺭﻭﺭﺓ ﻓﻴﻬﺎ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﻣﺴﺪﻭﺩﺓ ، ﻟﻢ ﺗﺼﺢ ﺻﻼﺗﻪ
“Jika seorang menggendong hewan suci atau balita ketika sholat, maka sholatnya tidak batal…karena najis yang ada di perut hewan, sama kedudukannya dengan najis yang ada di perut orang yang sholat, namun seandainya ia membawa botol tertutup yang berisi najis, tidak sah sholatnya”.
Kemudian al-Imam Yahya bin Abil Khoir (w. 558 H) dari kalangan mazhab Syafi’i, dalam kitabnya “al-Bayaan fii Mazhabi al-Imam asy-Syafi’i” (II/103-104) menjelaskan :
وإن حمل المصلي قارورة فيها نجاسة، وقد سد رأسها بصفر أو نحاس، أو حديد. . ففيه وجهان:
الأول] : قال أبو علي بن أبي هريرة: تصح صلاته؛ لأن النجاسة لا تخرج منها، فهي كالنجاسة التي في جوف الحيوان.
والثاني: لا تصح، وهو المذهب؛ لأنها نجاسة غير معفو عنها في غير محلها، فهي كما لو كانت ظاهرة.
“Jika seorang yang sholat membawa botol yang berisi najis, dan tutup botolnya terbuat dari Kuningan atau tembaga atau besi. Maka ada dua wajh (dalam mazhab Syafi’i) :
1. Abu Alu bin Abi Huroiroh berkata, sah sholatnya karena najis tidak keluar dari botol tersebut, ini seperti najis yang ada di perut hewan;
2. Tidak sah (sholatnya) dan ini adalah mazhab resmi (syafi’iyyah), karena ini adalah najis yang tidak ditoleransi bukan pada tempatnya, maka ini seperti kalau najis tersebut nyata-nyata ada (di badan/baju).
Dari studi kasus ini, kita sudah bisa menebak fatwa ulama yang akan dikeluarkan untuk menjawab permasalahan yang kita bahas ini. Misalnya, fadhilatus syaikh Abdur Rakhman bin Abdullah as-Suhaimiy berfatwa :
ﺇﺫﺍ ﻛﻨﺖ ﻋﻠﻰ ﻳﻘﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻔﺎﻇﺔ ﺑﻬﺎ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺣﻤﻠﻪ ﺣﻴﻨﺌﺬ ؛ ﻷﻥ ﺣَﻤْﻞ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻣُﺘﻌﻤﺪﺍ ﺫﺍﻛِﺮًﺍ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻋُﺬﺭ ﻣُﺒﻄِﻞ ﻟﻠﺼﻼﺓ “jika engkau yakin bahwa pampersnya ada najisnya, maka tidak boleh menggendongnya ketika itu, karena membawa najis dengan sengaja dalam kondisi sadar tanpa ada udzur dapat membatalkan sholat” -selesai-.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shoolih al-Munajid melengkapinya :
ﻣﻦ ﺷﺮﻭﻁ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ : ﺍﺟﺘﻨﺎﺏ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺪﻥ ﻭﺍﻟﺜﻮﺏ ﻭﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ، ﻓﻤﻦ ﺻﻠﻰ ﻭﻋﻠﻰ ﺛﻮﺑﻪ ﺃﻭ ﺑﺪﻧﻪ ﻧﺠﺎﺳﺔ ﺃﻭ ﺣﻤﻞ ﻃﻔﻼً ﻣﺘﻨﺠﺴﺎً ﺃﻭ ﺣﻤﻞ ﻗﺎﺭﻭﺭﺓ ﻓﻴﻬﺎ ﻧﺠﺎﺳﺔ … ، ﺑﻄﻠﺖ ﺻﻼﺗﻪ ﻋﻨﺪ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ، ﻭﻻ ﻳﺒﻄﻞ ﻭﺿﻮﺅﻩ
“diantara syarat sahnya sholat adalah menghindari najis di badan, baju dan tempat. Maka barangsiapa yang sholat dengan baju atau badan yang ada najisnya atau menggendong balita yang bernajis atau membawa botol yang isinya najis…, Batal sholatnya menurut mayoritas ulama, namun tidak membatalkan wudhunya.” -selesai-.
Dan kita juga sudah menebak ada ulama yang berfatwa bahwa hal tersebut tidak membatalkan sholatnya, misalnya fatwa yang dikeluarkan oleh asy-Syaikh DR. Sulaiman ar-Ruhailiy yang intinya beliau membolehkan menggendong balita, selama najisnya tidak menetes ke bajunya. (https://m.youtube.com/watch?v=Ff_eFiHcX8k).
Dalam menghadapi permasalahan seperti ini, kaedah khuruj minal khilaf sangat tepat diterapkan. Imam bin Baz rahimahullah berfatwa :
ﻓﺎﻷﺣﻮﻁ ﻟﻚ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻔﻌﻠﻲ ﻫﺬﺍ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﻨﺖ ﺗﻌﺮﻓﻴﻦ ﺃﻧﻬﺎ ﻃﺎﻫﺮﺓ، ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻷﺣﻮﻁ ﻭﻻ ﺗﺤﻤﻠﻴﻬﺎ ﻭﻫﻲ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ، ﻧﻌﻢ
“yang lebih berhati-hati engkau jangan melakukan hal tersebut, kecuali jika engkau tahu bahwa balitanya bersih dari najis. Ini adalah yang lebih hati-hati, jangan menggendongnya jika sang balita ada najisnya”.
Namun barangkali solusi yang diberikan oleh DR. Muhktar asy-Syinqithi hafizhahullah juga sangat bagus. Dalam salah satu durus syarah Zaadil Mustaqni yang beliau ampu, beliau memberikan pandangan yang bagus sekali :
ﻭﺍﻻﺣﺘﻴﺎﻁ ﺃﻻ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ، ﺇﻻ ﻓﻲ ﺣﺎﻟﺔ ﺍﻻﺿﻄﺮﺍﺭ ﻭﺍﻟﺤﺎﺟﺔ، ﻓﻠﻮ ﺣﻤﻞ ﺻﺒﻴﺎً ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺃﻥ ﻳﺘﺮﻛﻪ، ﻭﻳﺨﺎﻑ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺆﺫﻯ، ﺃﻭ ﻳﺨﺎﻑ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺆﺧﺬ، ﻓﺤﻴﻨﺌﺬٍ ﻳﺼﺢ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﻄﻮﻑ ﻭﻫﻮ ﺣﺎﻣﻞٌ ﻟﻪ، ﻣﻊ ﻭﺟﻮﺩ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ ﻟﻤﻜﺎﻥ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ، ﻛﺎﻟﻤﺴﺘﺤﺎﺿﺔ ﺇﺫﺍ ﻏﻠﺒﻬﺎ ﺍﻟﺪﻡ، ﻭﻟﻢ ﺗﺴﺘﻄﻊ ﺃﻥ ﺗﻨﻔﻚ ﻋﻨﻪ
“yang lebih berhati-hati janganlah melakukannya, kecuali jika terpaksa atau sangat membutuhkan, yangmana tidak bisa tidak balita tersebut harus digendong, karena (misalnya) khawatir balitanya tersakiti atau diambil orang, maka ketika itu boleh untuk menggendongnya, sekalipun ada najis padanya, dengan pertimbangan kondisi yang darurat, sebagaimana wanita yang musthadhoh ketika darahnya masih menetes dan tidak mampu menghindarinya (maka ia tetap sholat dengan mengenakan pembalut, pent.)” -selesai-.
Wallahu a’lam.
https://www.facebook.com/abu.s.triyono.5/posts/225373115296315
Subscribe to:
Posts (Atom)