Zakat yang kita pelajari dari ilmu fiqh merupakan ilmu yang isinya teori dan sekaligus praktek. Teori membahas mengenai syarat-syarat, rukun, jenis-jenis harta yang wajib dizakati. Sementara praktek merupakkan acuan bagaimana cara kita menghitung harta kita untuk dizakati.
Berikut akan kita kupas sedikit mengenai cara penghitungan zakat mal dan perdagangan.
Zakat perdagangan
Zakat perdagangan pada hakekatnya masih dalam kategori zakat mal (zakat emas, perak atau uang kertas). Karena sejatinya, orang yang berdagang, tidak bermaksud mengumpulkan barang dagangan saja, namun ia lebih menginginkan keuntungan dari barang tersebut. Keuntungan itu tidak lain adalah: uang.
Bedanya, untuk zakat emas dan perak penghitungan berdasarkan berat (gram), sementara uang kertas, penghitungannnya nilai nominal. Adapun, untuk harta perniagaan, penghitungannya bukan dari jumlah barang dagangan yang ada, namun berdasarkan nilai barang tersebut jika diuangkan.
Rinkasnya, persyaratan zakat perdagangan, sama persis seperti zakat harta, yaitu harus tercapainya nishob (senilai 85 gram emas murni), dan disimpan selama setahun (haul). Demikian pula jumlah yang harus dikeluarkan sama dengan zakat mal, yaitu 2,5 %.
Oleh karena itu, dalam penghitungan zakat perniagaan, boleh digabungkan antara barang dagangan dengan uang tabungan yang dimiliki oleh pedagang tersebut.
Kapan suatu benda disebut barang perniagaan?
Tidak semua benda yang dijual bisa distatuskan sebagai barang perniagaan. Setidaknya ada dua syarat sehingga suatu benda bisa disebut sebagai barang perniagaan, sehingga berlaku aturan zakat perniagaan.
Pertama: Adanya niat
Artinya ketika memiliki barang tersebut diniatkan untuk dijual kembali atau diperdagangkan, bukan untuk dipakai.
Kedua: Adanya aktivitas penjualan terhadap barang tersebut
Seperti melakukan penawaran untuk dijual.
Karena itu, ketika seseorang membeli mobil untuk dipakai keseharian, dan sekaligus ada niatan, pada suatu saat nanti akan menjual kembali mobil tersebut ketika harganya naik, maka mobil tersebut belum dihitung sebagai barang dagangan, karena dia dari awal berniat untuk memakainya. Sampai ia benar-benar sudah berniat menjualnya dan menawarkannya ke orang lain.
Antara omset, aset dan nilai barang
Penghitungan nishob pada zakat perdagangan adalah dari omset (modal beserta keuntungannya). Karena, laba adalah tambahan dan anak keturunan dari modal. Karena itu, laba harus mengikuti modal sebagai induknya dalam penghitungan nishob dan haul.
Sedangkan aset, berupa benda-benda pendukung perniagaan seperti bangunan toko, mobil pengangkut, meja,kursi, etalase dan lain-lain, yang intinya bukan barang yang hendak dijual, itu semua tidak masuk perhitungan zakat.
Jika omset yang dimiliki oleh seorang pedagang sudah mencapai seharga 85 gr emas murni, maka ia mulai menghitung permulaan haul.
Nishob modal diperhitungkan dari nilai barang dagangan. Yang menjadi acuan nilai di sini bukanlah harga pembelian dan buka pula harga penjualan. Namun nilai tersebut mengacu pada harga pasaran pada saat itu, dan yang dipakai adalah harga grosir, artinya harga yang diperuntukkan bagi reseller, bukan harga bagi konsumen.
Misalnya,
Sebuah properti senilai 70 juta dibeli untuk dijual lagi dengan harga 100 juta. Namun setelah berlangsung satu haul (satu tahun hijriyah), nilai barang tersebut naik menjadi 80 juta rupiah, yang menuntut si pedagang untuk menaikkan pula harga jualnya menjadi 112 juta rupiah. Maka, standar penghitungan nishob memakai nilai omset saat sekarang, bukan saat pembelian. Jadi ia wajib mengeluarkan zakat 2,5% dari 80 juta.
Apabila barang dagangan laku terjual
Bila sebagian barang dagangan telah laku terjual sebelum genap satu haul, maka uang hasil penjualan berikut labanya masih dalam perhitungan nishob dan haul. Hal tersebut dikarenakan zakat perdagangan pada hakikatnya adalah zakat harta, sebagaimana tabungan uang. Karena itu, dagangan yang sudah laku dan menjadi uang (berupa modal plus laba), tetap dianggap sejenis dengan zakat perniagaan.
Misalnya: Kita asumsikan nishob emas 60 juta. Seorang pedagang memulai usahanya dengan modal 60 juta dan semuanya digunakan untuk membeli barang dagangan (diluar biaya gedung, kendaraan, toko dan lain-lain). Setelah berlalu 11 bulan hijriah, separuh barang dagangan laku terjual seharga 40 juta (berarti barang yang terjual senilai 30 juta dan labanya 10 juta). Apabila uang hasil penjualan tersebut ditabung atau digunakan untuk modal dagangan kembali, maka itu tidak memutuskan penghitungan haul. Karena, omset (modal dan laba) yang dimiliki masih berkisar di atas nishob. Berarti, bulan depan (genap satu haul) zakat yang dikeluarkan 2,5% dari 70 juta rupiah.
Beda halnya ketika uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli properti misalnya, yang tidak ditujukan untuk dijual (seperti membeli rumah untuk ditempati, atau mobil untuk dipakai sehari-hari). Kondisi ini menyebabkan terputusnya penghitungan haul, karena uang 40 juta tersebut telah berubah fungsi dari harta perdagangan menjadi harta konsumtif. Serta nilai harta perdagangannya telah berkurang dari nishob (tinggal 30 juta). Karena itu, bulan depan (setelah genap satu haul), dia tidak wajib menzakati harta perniagaannya. Dia baru wajib menghitung haul kembali jika telah memiliki omset senilai 60 juta lagi.
Harta tambahan selain laba
Selain pedagang, pada umumnya pertambahan harta bukan berasal dari laba. Karena pertambahan harta seseorang bisa berasal dari mana saja, baik itu hadiah, warisan, mas kawin, termasuk juga gaji bulanan. Karena itu, dalam penghitungan haul, harta tambahan tersebut memakai haul tersendiri, tidak mengikuti haul harta sebelumnya.
Misal: pada Ramadhan 1433 H, seorang memiliki tabungan sebesar 60 juta, dan ia-pun mulai menghitung awal haul. Pada Zulhijjah 1433 H ia memperoleh hadiah 10 juta. Sehingga Ramadhan 1434 H, walaupun tabungannya sudah mencapai 70 juta, dia hanya wajib mengeluarkan 2,5% dari 60 juta dan bukan 70 juta.
Mengingat harta tambahan 10 juta tersebut diperoleh pada bulan zulhijjah maka tambahan ini baru wajib dizakati 2,5% setelah masuk Zulhijjah setahun berikutnya.
Hal ini mudah dilakukan bila harta tambahan ini datangnya bersifat insidental, dan tidak terlalu sering. Lain halnya ketika harta kita bertambah secara rutin tiap bulan berasal dari gaji. Akan sangat repot sekali untuk menghitung/ mengeluarkan zakat yang beraneka ragam setiap bulan. Oleh karena itu, diberikan kemudahan bagi para pegawai untuk mengeluarkan zakat per-tahun dengan syarat: penghitungan haulnya dimulai sejak tabungan mencapai nishob.
Piutang dan hutang
Tidak dipungkiri lagi, bahwa aktivitas perdagangan sangat akrab dengan istilah ini. Karena itu, perlu dibahas dalam perhitungan zakat.
Piutang masih tergolong harta pemiliknya (yang memberi hutang). Berarti, dia wajib memasukkannya dalam penghitungan harta zakatnya.
Sebagai contoh:
Seorang pedagang punya omset 80 juta, sebelum sampe haul laku dibeli secara kredit sebanyak 50 juta, berarti harta perniagaan yang ada secara real sebesar 30 juta (tidak mencapai nishob), tapi dalam perhitungan zakat, piutang tadi (50 juta) masuk dalam perhitungan zakat. jadi zakatnya 2,5 % dari 80 juta.
Sedangkan hutang, dibedakan dulu antara yang jatuh tempo atau yang belum. Jika belum jatuh tempo, maka masih terhitung sebagai hartanya (yang berhutang). Apabila telah jatuh tempo, maka ia wajib melunasinya terlebih dahulu, baru ia berhak memotongnya dari penghitungan zakat harta. Namun, apabila sudah jatuh tempo dan dia belum melunasi utangnya, maka ia memasukkan nilai utangnya dalam penghitungan zakat.
Contoh:
Bila seorang pedagang membeli barang dagangan secara kredit sebesar 70 juta, yang akan dilunasi 3 tahun ke depan, maka ia sudah harus mulai menghitung haul, karena omsetnya (70 juta) sudah mencapai nishob. Tahun depan misalnya omsetnya bertambah menjadi 140 juta. sedangkan ia punya hutang 70 juta yang belum jatuh tempo, maka ia wajib menzakati 2,5 % dari 140 juta. Namun bila ia mau langsung melunasi hutangnya, maka barulah dikurangi dari omset 140 juta - 70 juta (hutang), sehingga ia wajib menzakati 2,5 % dari 70 juta.
Bentuk harta yang dikeluarkan
Dari beraneka ragam barang dagangan yang ada, apakah bentuk yang dikeluarkan sebagai zakat? apakah pedagang majalah dan buku menyerahkan buku untuk menzakati fakir miskin? Pedagang sepatu menzakati sepatu? Begitu seterusnya?
Jawabannya, zakat yang diberikan dalam bentuk uang dan bukan barang. Dan ini adalah hukum asalnya. Karena zakat perdagangan statusnya sebagaimana Zakat mal, yang dikeluarkan dalam bentuk mata uang.
Namun pada kondisi tertentu, dibolehkan zakat dalam bentuk uang tersebut dipakai untuk membeli barang kebutuhan penerima zakat, jika memang kondisi memaksa demikian.
Hal ini sebagaimana yang difatwakan oleh Lajnah Daimah Saudi Arabia, (no 13232, jilid 9 hal 433) Ketika ditanya perihal zakat mal yang digunakan untuk membeli sembako dan selimut untuk para fakir miskin di Afganistan, karena mereka sangat membutuhkan barang-barang tersebut. Sedangkan pada saat itu, di negara mereka sangat sulit mendapatkannya. Walaupun ada, namun dengan harga yang tidak terjangkau. Sehingga apabila zakat yang dikirimkan kepada mereka berupa uang, mereka tidak akan mampu memperoleh kebutuhan pokok dengan nilai uang tersebut.
Fatwa ini berlaku bila kondisi seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, pada keadaan normal, hendaknya zakat harta seseorang dikeluarkan dalam bentuk uang, bukan berupa sarung, atau pakaian atau sembako. Karena, uang lebih berguna, bisa dimanfaatkan untuk memperoleh barang sesuai kebutuhannya.
Mentransfer zakat.
Yang dimaksudkan di sini adalah menyalurkan zakat mal bukan di daerah di mana zakat tersebut diambil. Dalam kitab fiqh, pemindahan zakat ini bisa disebut transfer zakat, bila dikeluarkan sejauh jarak safar (jarak dibolehkannya untuk menqoshor sholat). Atau dalam konteks saat ini, batas minimal disebut transfer zakat, bila dikirim ke provinsi lain.
Untuk zakat mal, proses transfer zakat lebih mudah dari pada harta zakat lainnya, seperti ternak dan hasil tani. Karena, proses transfernya tidak memerlukan biaya besar. Apalagi kalau bentuknya transfer antar-rekening.
Apa hukumnya transfer zakat ini?
Pada dasarnya, zakat tidak boleh disalurkan kecuali di daerah, dimana zakat tersebut diambil. Karena, fakir miskin daerah itu yang lebih berhak mendapatkannya dari pada pihak yang jauh.
Namun, ada kondisi yang membolehkan untuk mentransfer zakat. Di antaranya: jika sudah tercukupinya kebutuhan pihak penerima zakat di daerah itu; jika pihak penerima zakat di daerah lain dalam kondisi sangat membutuhkan bantuan; atau jika penerima zakat di daerah lain adalah karib kerabat pemilik zakat; bisa juga menjadi alasan ditransfer ke daerah lain, karena penerimanya adalah para penuntut ilmu agama namun mereka miskin (Ibn Utsaimin, Syarhul Mumti' 6/211)
Muhammad Yassir, Lc. (Staf Pengajar STDI Imam Syafi'i, Jember)
0 comments:
Post a Comment