~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ada yang bertanya :
"Ustadz, kenapa ya sebagian ikhwan kayaknya getol banget membela kebijakan Pak Jokowi...???"
Tanggapan :
Bukan membela kebijakan yang ada ya akhy, siapa yang membela... semuanya juga kecewa dengan janji-janji yang diberikan (diucapkan) ketika kampanye (dulu), kami pribadi juga kecewa dengan kondisi yang ada (saat ini).
Kita hanya berusaha memberikan berita yang adil ya akhy, tidak malah hanyut terbawa gelombang orang-orang yang suka dengan fitan (fitnah), yang dihati mereka penuh kebencian dan permusuhan dengan pemerintah.
Kita harus berusaha bersikap adil, kenaikan harga sembako itu bisa salah bisa juga benar... jangan langsung kita memvonis pasti salah dan kemudian selalu mencela (pemerintah). Di zaman para khalifah dulu juga (pernah) terjadi kenaikan harga, tapi engga (tidak) kita temukan atau (bisa dikatakan) langka sekali di kitab-kitab para 'ulamaa disebutkan karena kenaikan harga ini, (lantas) kemudian masyarkat mencaci khalifah, kemudian terjadi makar. Karena sikap Ahlus Sunnah itu harus adil dan bijak ya akhy, disatu sisi kita engga suka dan kecewa dengan kenaikan harga yang semakin memberatkan masyarakat, tapi disisi yang lain (kita) tetap berusaha sabar, tenang, tidak gerusah-gerusuh, yang malah akan semakin menunjukkan jeleknya karakter kita, wa 'iyaadzubillah.
Toh, belum tentu juga kalau kita sendiri yang menjadi pimpinan kondisi akan lebih baik. Sekian banyak, dan sekian lama kader-kader Partai Islam yang duduk diatas sana belum bisa juga selama ini memberikan andil yang besar untuk negeri ini. Mereka enak-enak duduk disana, digaji oleh negeri ini, kalau ke masyarakat mereka malah mencela (pemerintah) ini, harusnya mereka yang punya tanggung jawab besar menenteramkan negeri ini, bukannya malah cari aman, bermuka dua dan mengadu domba masyarakat dengan pemerintah kita, sebab bukankah mereka juga bagian dari pemerintahan?
Allahul musta'an.
Jangan menutup mata negeri ini lemah karena kelemahan diri kita sendiri ya akhy.
Lihat kondisi ummat Islam di negeri ini berapa persen yang paham Islam dengan baik... mungkin bisa 70% lebih masyarakat kita awwam akan Islam, apalagi Sunnah Rasulullah ﷺ.
Jangan terlalu muluk-muluk ya akhy, dengan kita berharap dapat pemimpin yang tegar diatas As-Sunnah Rasulullah ﷺ ketika kondisinya seperti ini.
Bahkan yang terkenal keras terhadap pemerintah saat ini mereka yang benci akan Sunnah, kita diam saja dengan kebid'ahan yang mereka lakukan, bahkan kita berangkulan mesra dengan mereka.
Allahul musta'an.
Posisi Ahlus Sunnah itu sudah sangat jelas ketika zaman fitnah yakni menghindari fitnah dan menyibukkan dengan amal shalih serta bersabar diatasnya.
Dari Abu Hurairah رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Akan terjadi fitnah yang ketika itu orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Barangsiapa yang mencari fitnah itu, maka dia akan terkena pahitnya dan barangsiapa yang menjumpai tempat berlindung maka hendaknya dia berlindung (dari fitnah tersebut)."
(Shahiih, HR. Al-Bukhari, VI/612, no. 3601, 3602, 7081, 7082, Muslim, no. 2886, 2887, Ahmad, no. 1369, 1523, 7464, 19587, at-Tirmidzi, no. 2194, dan Abu Dawud, no. 4256, 4257, 4258, Shahiih al-Jaami', hal. 2430)
Dari Ma'qil bin Yasar رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Beribadah di saat terjadinya fitnah seperti berhijrah kepadaku."
(Shahiih, HR. Muslim, no. 2948)
Jadi ketika fitnah itu muncul kita diperintahkan untuk menghindarinya dengan memperbanyak amal shalih yang balasan pahalanya seperti orang yang ikut berhijrah bersama Rasulullah ﷺ, bukan justru ikut nyemplung ke dalam fitnah tersebut.
Kalau kita mau memberikan nasihat berikan dengan cara yang baik, dan benar bukan dengan selalu mencela dan menggerutu dimanapun juga, seperti di media sosial (facebook) ini.
Allah ﷻ berfirman :
"Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."
(QS. Al-'Ashr [103] : 1 - 3)
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin 'Aus ad-Daari رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat."
Para Shahabat bertanya,
"Untuk siapa, wahai Rasulullah?"
Beliau ﷺ menjawab,
"Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan imam kaum muslimin (para penguasa kaum muslimin), dan bagi kaum muslimin pada umumnya."
(Shahiih, HR. Muslim, I/74, no. 55 [95], Ahmad, IV/102 - 103, Abu Dawud, no. 4944, an-Nasaa-i, VII/156 - 157, al-Humaidi, no. 837, Ibnu Hibbaan, no. 4555, al-Baihaqi, VIII/163, ath-Thabrani, no. 1260 - 1268, dan al-Baghawi, XIII/93, no. 3514)
Dari 'Iyadh bin Ghunm رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa (pemimpin), janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan (secara langsung di depan umum), namun hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya (yaitu menasihati dengan cara sembunyi-sembunyi dan rahasia tidak di depan umum), kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban menyampaikan amanah yang dibebankan kepadanya."
(Shahiih, HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, bab Kaifa Nashihatur Ra'iyyah lil Wulaat, II/507 - 508, no. 1096, 1097, 1098, Ahmad, III/403 - 404, dan al-Hakim, III/290)
Asy-Syaikh Al-'Allamah 'Abdul Aziz bin 'Abdullah bin Baaz رحمه الله تعالىٰ berkata,
"Nasihat hendaklah dengan cara yang baik, tulisan yang bermanfaat dan ucapan yang berfaidah. Bukanlah termasuk nasihat dengan cara menyebarkan aib-aib manusia, dan tidak pula mengkritik kepala negara di mimbar-mimbar dan semisalnya. Akan tetapi nasihat itu engkau curahkan setiap yang bisa menghilangkan kejelekan dan mengokohkan kebaikan dengan cara-cara yang hikmah dan sarana-sarana yang di ridhai Allah سبحانه و تعالىٰ."
(Majmuu' Al-Fataawaa, VII/306)
Beliau رحمه الله تعالىٰ berkata,
"Bukan termasuk manhaj Salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma'ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para 'ulamaa (tokoh) yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan."
(Haqqur Ra'iy war Ra'iyyah, hal. 27, Majmuu' Al-Fataawaa, VIII/210)
Mari kita resapi ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi ﷺ ini dengan lapang dada dan nalar yang jernih untuk bisa dengan mudah menerima kebenaran, tidak malah selalu menentangnya dengan berbagai alasan yang terlalu dipaksakan :
Dari 'Abdullah bin 'Umar رضي الله تعالىٰ عنهما, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia menyuruh (memerintahkan) untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh (memerintahkan) untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat."
(Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 2796, 2955, 7144, Muslim, no. 1839, Ahmad, II/17, 142, at-Tirmidzi, no. 1707, Ibnu Majah, no. 2864 dan an-Nasaa-i, VII/160)
Di hadits yang lain Rasulullah ﷺ sudah mewanti-wanti akan datangnya zaman kita ini :
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman رضي الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Akan ada setelahku para penguasa yang tidak melakukan petunjuk-petunjukku dan tidak melakukan sunnah-sunnahku. Dan akan ada diantara mereka orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati syaithan yang terdapat di jasad manusia."
Hudzaifah رضي الله تعالىٰ عنه berkata,
"Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini?"
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Engkau tetap harus setia mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun ia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka tetaplah untuk setia mendengar dan taat!"
(Shahiih, HR. Muslim, no. 1837, dan Abu Dawud, no. 4244)
Ada yang mengatakan :
"Kan beda khalifah dulu dengan pemerintah muslim saat ini..."
Tanggapan :
Kami malah balik bertanya bukankah dari hadits di atas sangat jelas disebutkan pemimpin yang berhati syaithan saking kejam dan zhalimnya serta tidak mengambil sunnah (petunjuk) atau hukum Islam.
Akankah kita menolak hadits ini...
Thoyyib ya akhy, coba sebutkan perkataan para imam yang memisahkan ketaatan hanya untuk yang berhukum Islam saja secara kaffah (sempurna)... coba tolong sebutkan...
Pasti akan banyak sekali kalau memang benar ada seperti itu.
Bukankah dari dulu Saudi Arabia berhukum dengan hukum Islam juga dicela. Malah Turki, yang tidak berhukum dengan hukum Islam dipuji karena sosok presidennya yang tegas حفظه الله تعالىٰ.
Adilkah sikap kita...
Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi رحمه الله تعالىٰ mengatakan,
"Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zhalim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezhaliman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur (menghapuskan) dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah سبحانه و تعالىٰ tidak menjadikan mereka berbuat zhalim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza' min jinsil 'amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita. Perhatikanlah firman Allah ﷻ berikut :
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)."
(QS. Asy-Syura : [42] : 30)
Allah سبحانه و تعالىٰ berfirman :
"Dan demikianlah Kami jadikan sebagaian orang-orang zhalim sebagai pemimpin bagi orang zhalim yang lain, disebabkan perbuatan maksiat yang telah mereka lakukan."
(QS. Al-An'aam [6] : 129)
Rasulullah ﷺ bersabda,
"Sesungguhnya di setiap zaman ada pemimpin yang Allah ﷻ tunjuk sesuai dengan keadaan hati masyarakatnya. Jika Allah ﷻ hendak memperbaiki masyarakat ini maka Allah tunjuk pemimpin yang baik. Dan jika Allah ﷻ hendak membinasakan mereka, Allah ﷻ tunjuk pemimpin yang zhalim."
(Shahiih, HR. Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, IX/491)
Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezhaliman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman."
(Syarh 'Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 381)
Dari 'Abdullah bin 'Umar رضي الله تعالىٰ عنهما, ia berkata,
"Rasulullah Muhammad ﷺ menghadap ke arah kami dan bersabda,
'Wahai sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal yang jika kalian terjatuh ke dalamnya -dan aku berlindung kepada Allah ﷻ agar kalian tidak menjumpainya- yaitu :
1. Tidaklah nampak perbuatan zina di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha'un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi (kaum) sebelumnya.
2. Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kezhaliman penguasa atas mereka.
3. Tidaklah mereka menahan zakat (tidak membayarnya) kecuali hujan dari langit akan ditahan dari mereka (hujan tidak turun ke dunia), dan sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan.
4. Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah سبحانه و تعالىٰ dan Rasul-Nya Muhammad ﷺ, melainkan Allah ﷻ akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut mengambil sebagian apa yang mereka miliki.
5. Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullaah (al-Qur-anul Karim) dan mengambil yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah سبحانه و تعالىٰ (syari'at Islam), melainkan Allah سبحانه و تعالىٰ akan menjadikan permusuhan di antara mereka.'"
(Shahiih, HR. Ibnu Majah, II/1332, no. 4009, al-Hakim, no. 8623, dan Abu Nu'aim, VIII/333, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, no. 106)
Perhatikan poin kedua dari hadits di atas!
Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah رحمه الله تعالىٰ mengatakan,
"Sesungguhnya di antara hikmah Allah سبحانه و تعالىٰ dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zhalim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah سبحانه و تعالىٰ dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah سبحانه و تعالىٰ, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah سبحانه و تعالىٰ, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu'awiyah, 'Umar bin 'Abdul Aziz, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar ash-Shiddiq dan 'Umar bin al-Khaththab رضي الله تعالىٰ عنهم, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah سبحانه و تعالىٰ."
(Miftah Daaris Sa'adah, II/177 - 178)
Pada masa pemerintahan 'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه ada seseorang yang bertanya kepada beliau,
"Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Abu Bakar dan 'Umar رضي الله تعالىٰ عنهما tidak?
'Ali bin Abi Thalib رضي الله تعالىٰ عنه menjawab,
"Karena pada zaman Abu Bakar dan 'Umar yang menjadi rakyatnya adalah orang-orang yang seperti aku dan para Shhabat lainnya, yang shalih dan taat. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah orang-orang seperti kalian, yang suka ribut dan membangkang."
Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah (memperbaiki) 'aqidah, ibadah, akhlak dan muamalahnya.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه و تعالىٰ :
"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
(QS. Ar Ra'du [13] : 11)
Silahkan buka kitab-kitab para 'ulamaa agar kita tau bagaimana mereka bermuamalah dengan para pemimpin muslim sekalipun zhalim, baca Asy-Syari’ah karya Al Ajurri, As Siayasah Asy Syar'iyah Ibnu Taimiyah dan buku Ath Thuruqul Hukmiyah Fis Siyasah Asy Syar'iyah karya Ibnu Qayyim dll.
نسأل الله السلامة و العافية
Semoga Allah تبارك وتعالىٰ memberikan hidayah dan taufiq.
al-Ustadz Anton Abdillah Al Atsary حفظه الله تعالىٰ
Dengan sedikit perbaikan dan penambahan tanpa merubah makna oleh :
✍Abu 'Aisyah Aziz Arief_